Thursday, January 30, 2014

Senjakala Para Jawara Hutan "Yang Langka Dan Hampir Punah"

Melani sudah tidak terlihat sangar. Layu. Lemah. Sudah tidak menakutkan seperti hari-hari sebelum. Tatapan mata sayu. Tak lagi tajam. Tubuh kuat itu sudah tak tampak. Yang terlihat hanya tulang menonjol dibalut kulit. Kurus kering. Berat badan Melani hanya 44 kilogram. Jauh dari berat ideal 75 kilogram.

Melani ini bukanlah manusia. Dia adalah Harimau betina dari Sumatera. Hewan kebanggaan Indonesia. Usianya 16 tahun. Hewan langka ini hanya ada di Sumatera. Jumlahnya pun tidak banyak. Kurang dari 400 ekor. Mereka menghuni kawasan cagar alam dan taman nasional. Jika pun ada di berbagai belahan dunia, mereka menghuni kebun binatang. Salah satunya, ya, Melani itu.

Melani tinggal di Kebun Binatang Surabaya. Yang belakangan ini lebih sohor dengan nama singkatannya, KBS. Belakangan ini KBS ramai jadi berita. Dari media lokal, nasional, hingga manca negara. Media massa di Inggris menyebut KBS sebagai kebun binatang maut. Beberapa hewan di situ mati, dan banyak pula yang sakit. 

Derita yang mendera Melani, misalnya, sudah berlangsung semenjak lima tahun lalu. Dia mengalami masalah pada pencernaan. Fungsi sejumlah organnya menurun drastis. Penyebab sakitnya diketahui tahun lalu. Diduga dia sering diberi makanan yang  menganggu pencernaan.

Makanan ini membuat metabolisme tubuhnya memburuk hingga merusak lambung, hati, dan syaraf lain. Pencernaan Melani jadi kacau. Makanan lunak sekalipun tak bisa dia cerna. Padahal, jika di alam bebas, dia adalah penguasa. Pemangsa buas yang biasa mencabik-cabik daging mangsa, bahkan manusia sekalipun. 

Lantaran kesehatan memburuk itu, Melani kini dipindahkan dari KBS ke Taman Safari Indonesia di Cisarua, Bogor. Di situ dia menjalani perawatan intensif. Tapi kondisinya tak juga membaik dan tak berdaya.

Ada yang mengusulkan agar dia disuntik mati atau euthanasia. Demi mengakhiri penderitaan Melani yang sudah teramat perih. Tapi banyak juga yang menolak, dengan harapan kondisi Melani pulih kembali. Namun, keputusan menyuntik mati dan perawatan Melani ada di tangan pemerintah.

Harimau Sumatera

Melani memang harus segera diselamatkan. Jika tidak, dia akan menyusul Rozek dan Martina. Dua nama Harimau Sumatera penghuni KBS yang sudah lebih dulu melepas nafas. Mati. 

Rozek mati pada 4 April 2013. Mati dengan kesehatan yang menyedihkan. Rozek mati karena menderita radang paru-paru dan diare. Harimau jantan berusia 13 tahun ini, tidak mau makan. Tubuhnya kurus kering. Hingga menjemput ajal. Bangkai Rozek saat ditimbang hanya 100 kilogram. Padahal dalam kondisi gagah perkasa Harimau seusia Rozek bisa mencapai berat 140 kilogram.

Pendahulunya, Martina, penghuni KBS juga, mati pada 14 Agustus 2010. Martina berusia 20 tahun ketika itu. Harimau Sumatera betina itu tak tertolong saat dalam perawatan intensif di ruang karantina. Martina terindikasi sakit hepatitis.
 
Di Kebun Binatang Taman Rimba Jambi, seekor Harimau Sumatera bernama Peter, juga mati. Peter sebelumnya sempat mendapat perawatan, karena kondisinya kritis. Tapi tubuhnya tak kuat menahan efek bahan kimia, yang diduga masuk ke tubuhnya. Peter akhirnya mati di kandangnya pada 17 Agustus 2013. Mati pada usia sembilan tahun.

Koordinator Konservasi Satwa Langka World Wildlife Fund-Indonesia, Chairul Saleh menjelaskan jumlah Harimau Sumatera terus mengalami penurunan. Pada 1978, Harimau Sumatera di Indonesia berjumlah sekitar 1.000 ekor. Tercatat, sebanyak 66 ekor terbunuh dalam kurun waktu 1998-2000.


Selain karena perawatan yang kurang baik di kebun binatang, kata Chairul, berkurangnya populasi Harimau Sumatera juga karena maraknya konversi hutan alam menjadi kegiatan budidaya non kehutanan, seperti perkebunan sawit, tanaman industri, atau pertambangan.

“Konflik antara harimau dengan manusia ini memang menjadi ancaman sendiri. Karena banyak kasus satwa langka konflik dengan manusia, ujung-ujungnya mati juga,” kata Chairul.

Selain itu, perdagangan Harimau Sumatera menjadi ancaman serius. Maraknya perdagangan Harimau Sumatera tercermin dari survei yang dilakukan lembaga perlindungan dan pelestarian satwa liar, ProFauna, yang bekerjasama dengan International Fund Animal Welfare (IFAW) pada Juli-Oktober 2008.  

Survei yang dilakukan di 21 kota di Indonesia itu menunjukkan, 10 kota di antaranya, atau 48 persen memperdagangkan bagian tubuh harimau. Bagian tubuh yang diperdagangkan antara lain, kulit, kumis, cakar, taring, atau tubuhnya secara utuh. Harganya bervariasi. Kebanyakan bagian tubuh dijual di toko seni, toko obat tradisional, dan penjual batu mulia.

Orangutan

Seperti halnya juga Harimau Sumatera, ancaman bagi Orangutan di Indonesia adalah konversi hutan menjadi ladang perkebunan dan kegiatan industri lain. Habitatnya semakin sempit dan rusak. 

Tak ada pilihan, untuk mencari makan, banyak Orangutan turun ke perkebunan milik masyarakat. Di titik inilah, Orangutan dianggap sebagai hama oleh manusia. Mereka dibasmi. Padahal Orangutan digolongkan sebagai hewan yang sangat terancam punah (critically endangered). Karena itu, keberadaannya sangat dilindungi oleh Undang-undang.

Seperti yang terjadi di Pontianak, Kalimantan Barat. Seekor Orangutan ditembak dan dijadikan makanan oleh warga, Selasa 5 November 2013. Peristiwa itu terjadi di Jalan Panca Bhakti, Kecamatan Pontianak Utara. Di sana, Orangutan dianggap sebagai hama. Mereka dibasmi karena dianggap perusak perkebunan warga.

Salah seorang warga di sana, IM, berusia 50 tahun, mengatakan Orangutan itu ditembak seorang pemburu yang sedang berburu di perkebunan kelapa sawit dekat permukiman warga. Awalnya, kata IM, pemburu itu ingin mencari Rusa. Tapi justru Orangutan yang tertembak. “Dari pada sengsara setelah ditembak, lebih baik dimakan saja. Kalau Orangutan ini hidup dipelihara,” kata Ignasius.

“Lalu kami kuliti daging Orangutannya. Dagingnya keras sekali, tapi enak. Rasanya panas sekali daging Orangutan ini, tapi enak. Saya dapat bagian kepala,” kisah IM. Dia kemudian mengisahkan bahwa di wilayahnya banyak sekali Orangutan. Tapi karena dianggap mengganggu warga, Orangutan itu dibunuh. 


Saat warga membuka lahan di Kabupaten Ketapang, kata dia, juga banyak Orangutan yang ditangkap dan akhirnya dijadikan lauk oleh warga sekitar. Daging Orangutan dijadikan menu masakan seperti rica-rica dan sop. “Jadi bukan kali ini saja,” katanya santai. Kisah penembakan dan makan Orangutan ini kemudian mendunia.

Disamping itu, populasi Orangutan kian terancam akibat aksi perburuan untuk dijual dan dijadikan binatang peliharaan. Namun, memelihara Orangutan bukanlah tindakan yang tepat. Sebab, Orangutan memiliki kesamaan DNA hingga 97 persen dengan manusia. Sehingga sangat mudah menularkan penyakit.

“Penyakit yang umumnya diidap antara lain, tuberculosis, hepatitis, dan HIV,” kata Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat, Siti Chadidjah Kaniawati.

Koordinator Konservasi Satwa Langka WWF-Indonesia, Chairul Saleh, mengatakan saat ini populasi Orangutan liar di hutan Pulau Kalimantan sebanyak 59.000 ekor. Sedangkan di Sumatera, hanya sisa 5.000 ekor.  Padahal, sekitar tahun 1990-an, Orangutan di Sumatera diperkirakan masih sebanyak 200.000 ekor. Sedangkan di Aceh, dari 6.000 ekor, kini hanya ada sekitar 2.000 ekor.

Badak

Badak Jawa atau Badak Sunda (Rhinoceros Sondaicus) dan Badak Sumatera (Dicherorinus Sumatrensis) juga sebagai hewan paling dilindungi. Statusnya kritis, terancam punah. Masuk dalam daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN).

Menurut Chairul Saleh, populasi Badak Jawa hanya 50 ekor. Dengan jumlah yang sangat sedikit itu, dan hanya berada dalam satu tempat, Badak Jawa sangat terancam punah. “Badak Jawa secara populasi stagnan. Dalam jangka panjang, tidak mungkin lagi bertambah, karena habitatnya hanya tinggal di Taman Nasional Ujung Kulon. Jadi status Badak Jawa di dunia hanya tinggal di Ujung Kulon,” kata Chairul.


Badak Sumatera tak kalah memprihatinkan. Jumlahnya saat ini hanya sekitar 250 ekor. Berbeda dengan Badak Jawa, populasi Badak Sumatera tersebar di Taman Nasional Gunung Leuser Aceh, Bukit Barisan Selatan Lampung, dan Waykambas Lampung. 

Tapi dengan jumlah segitu, jika tidak ditangani serius, Badak Sumatera diramalkan bakal punah. Sebagai perbandingan, pada awal Strategi Konservasi Badak Indonesia tahun 1994, di Sumatera terdapat 17 lokasi keberadaan Badak Sumatera.

Maraknya perburuan badak sebagai salah satu penyebab berkurangnya populasi hewan ini. Cula badak adalah daya tarik ekonomi bagi para pemburu untuk dijual ke pasar. Dijadikan obat tradisional. Bahkan hanya sekedar pajangan di rumah. Menyedihkan.

Selain itu, habitat mereka juga semakin sempit akibat alih fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, perkebunan kopi, dan tanaman pertanian lainnya. Tak jarang, saat badak lapar, mereka akan turun ke ladang milik warga. Akibatnya, badak dibantai karena dianggap sebagai hama.

Gajah

Binatang khas Indonesia lainnya yang hampir punah adalah Gajah Kalimantan (Elephas maximus bomeensis). IUCN mengelompokkan Gajah Kalimantan dalam kategori genting kritis. 

Berdasarkan penelitian yang dilakukan WWF-Indonesia dan BKSDA Kalimantan Timur pada 2007-2012, populasi gajah ini diperkirakan hanya sekitar 20-80 ekor saja.

Gajah Kalimantan dinilai sebagai satwa paling langka untuk spesies gajah. Sebab, gajah ini memiliki perbedaan dengan gajah lain yang ada di dunia. Keunikannya, ukuran tubuh Gajah Kalimantan sangat kecil dibandingkan gajah lainnya di dunia. Telinganya lebar, gading dan belalainya lebih panjang dibanding gajah lain. Selain itu ekornya panjang, nyaris menyentuh tanah.

Populasinya terus berkurang akibat konflik dengan manusia. Penebangan hutan, alih fungsi hutan, menjadi pemicu. Habitatnya menyempit. Sumber makanannya sudah pasti berkurang. Kemudian gajah mencari makan di perkebunan warga. Mereka pun dibunuh karena dianggap sebagai hama. Perburuan juga menjadi ancaman nyata bagi Gajah Kalimantan. Gadingnya bernilai ekonomi bagi para pemburu.


Senasib. Populasi Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) juga kian menyusut. Berdasarkan data WWF-Indonesia, dalam kurun 25 tahun terakhir, Gajah Sumatera telah kehilangan sekitar 70 persen habitatnya. Itu terjadi karena alih fungsi hutan menjadi perkebunan, dan aksi perburuan. Ratusan Gajah Sumatera dibunuh dengan cara diracun, karena dianggap hama oleh warga pemilik perkebunan.

Pada tahun 2007, populasi Gajah Sumatera sebanyak 2.400-2.800 ekor. Populasinya menyusut hingga lebih dari separuh. Diperkirakan, populasinya bakal kian menyusut drastis akibat pembunuhan.

Selain hewan tersebut di atas, masih ada beberapa hewan lain khas Indonesia yang terancam punah. Sebut saja, Bekantan (monyet berhidung panjang); Elang Jawa; dan Burung Enggang. Masalahnya sama. Habitat mereka yang semakin tergerus, dan aksi perburuan.

Selamatkan atau punah

Siklus rantai kehidupan alam berpengaruh pada kondisi alam itu sendiri. Ketika rantai itu diputus, otomatis keseimbangan akan terganggu. Semua makhluk, tidak hanya manusia, tapi juga hewan, punya peran penting. Tidak ada yang tidak memainkan peran dalam kehidupan. Mereka adalah penyeimbang bagi ekosistem.

Melihat populasi satwa langka yang terus memprihatinkan, semua harus bertindak. Pemerintah, masyarakat dan lembaga pemerhati hewan dan lingkungan, wajib mempertahankan keberadaan hewan langka. Tidak terkecuali. Industri juga tidak boleh egois. Harus melihat, mempertimbangkan, dan tetap menjaga kelestarian lingkungan.
 
“Merelokasi mereka bukan suatu jawaban. Melainkan habitat mereka yang penting untuk dijaga, diperbaiki. Untuk menjaga satwa-satwa langka dengan memperbaiki habitat sangat jarang dilakukan,” tutur Deddy Ratih, Manajer Advokasi Kampanye Bioregion Eksekutif Nasional Walhi.

Deddy sangat yakin, jika tidak ada upaya dan keseriusan dari semua pihak, satwa-satwa langka itu akan punah. Hanya tinggal nama. “Buktinya banyak. Kijang Mas di Kalimantan Selatan itu sudah tidak ada, Harimau Jawa, juga sudah punah. Kalau kita list banyak sekali hewan-hewan langka di Indonesia yang sudah punah,” katanya.

Yuyun Indradi, Project Leader Protect Paradise Greenpeace Asia Tenggara, menyatakan harus ada keseriusan dari pemerintah untuk mempertahankan satwa yang terancam punah. Harus ada langkah tepat dalam konservasi. Saat ini ada dua hal konservasi terhadap hewan langka yakni, in situ dan ex situ.

In situ adalah usaha pelestarian alam yang dilakukan di dalam habitat aslinya. Sementara, ex situ adalah usaha pelestarian yang dilakukan di luar habitat aslinya. Seperti di kebun binatang, tempat penangkaran dan lainnya.

“Kelihatannya pemerintah hanya mengandalkan ex situ. Sementara yang in situ semakin terdesak dengan perambahan, ekspansi perkebunan sawit, ekspansi hutan tanaman industri, pembalakan, pertambangan. Pada akhirnya mengurangi jumlah satwa,” kata Yuyun. 

Sementara, konservasi ex situ yang berada di kebun binatang dan taman safari, kata Yuyun, masih kurang mendapat perhatian serius. Banyak masalah yang dihadapi. Salah satunya, persediaan anggaran perawatan. Bagaimana bisa merawat semua binatang yang ada kebun binatang dengan anggaran yang kecil.

“Akhirnya, seperti yang sering kita lihat belakangan ini, banyak hewan yang tidak terurus, dan mati. Itu menunjukkan bahwa tidak ada keseimbangan political will untuk melindungi satwa-satwa yang terancam punah,” tegasnya.

0 comments:

Post a Comment

 

Subscribe to our Newsletter

Contact Admin

Email us: adutmaulana123@gmail.com

Our Team Memebers